Sabtu, 09 Juni 2012

SUMBA (Humba )

 
            Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas dua kabupaten, Sumba Barat dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.

Kebudayaan dan para wisata di pulau Sumba
Ada begitu banya budaya dan adat-istiadat yang pernah ada dan juga yang masih dipertahankan disumba hingga saat ini. Diantaranya: ma ngajung, pa wandang, wunda ngaiya,hamayang, pulu moal, pa ohu,heru, tinung,pa lapang,dan masih banyak lagi.
Kebudayaan yang masih kuat dipertahankan hingga sekarang adalah hamayang. Hamayang kepada marapu, dan pemberian siri pinang kepada nenek moyang lewat katoda (tugu dari batu di pekarangan rumah).
Selain itu peninggalan lainnya berupa kampung adat (pareng), seperti: praing bakul kapunduk majangga, hama praing, praing wunga, prai karoku, prai malinjak, prai liu dan masih banyak lagi.
Praing wunga, merupakan kampung tertua di sumba. Jika kita menyebut diri kita orang Sumba (tau humba) maka adalah tidak mungkin kita tidak tahu tentang Praing Wunga di Kecamatan Haharu. Karena dari sanalah nenek moyang orang sumba berasal.
Serasanya belum lengkap bila anda tidak berkunjung ke salah satu warisan budaya Indonesia yaitu megalitikum. Kuburan batu dari para Raja-Raja Sumba merupakan salah satu bentuk unsur megalitikum yang dapat ditemukan di Sumba. Selain itu ada meja batu yang besar untuk pertemuan adat. Budaya Marapu menjadi salah satu penghias sendiri di tanah Sumba, namun budaya Marapu sudah mulai tergeser dengan modernitas
Diatas merupakan bangunan makan para Raja-Raja Sumba di Desa Rende Sumba Timur NTT yang masih ada sampai sekarang. Bagaimana para hamba (sebutan seperti abdi dalem di Sumba) dan para penduduk sangat menghormati jejak leluhur mereka dengan membuat pahatan yang sangat berat.
            Jejak leluhur mereka masih menjadi bagian budaya dan tradisi yang turun-temurun hingga sekarang. Meskipun peran para Raja sudah mulai tergusur dengan adanya pemerintahan yang ada, namun keberadaan tradisi yang masih tradisional masih menjadikan Sumba surga bagi penikmat bangunan megalitikum.
            Pariwisata di Sumba Timur mempunyai prospek yang baik dan masih dapat dikembangkan secara lebih optimal. Daerah ini memiliki obyek wisata yang beragam, baik wisata alam, agrowisata, maupun wisata budaya. Wisata alam di daerah ini antara lain berupa keindahan laut dan pegunungan yang terbentang luas, sungai-sungai, wisata hutan tropis yang lebat, dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna liar, seperti yang terdapat di kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Wisata budaya di Sumba Timur meliputi peninggalan sejarah dan keanekaragaman tradisi, kesenian lokal/setempat yang spesifik serta menarik. Dengan potensi wisata seperti itu, sektor pariwisata di Sumba Timur tergolong primadona dalam menghasilkan devisa negara. Selain itu, sektor ini diharapkan dapat berperan sebagai sarana yang dapat meningkatkan perekonomian rakyat dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Persyaratan utama yang dibutuhkan adalah keamanan dan ketenangan politik. Kedua hal itu sangat diharapkan oleh para wisatawan asing yang akan berkunjung ke Indonesia, khususnya Sumba Timur. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sumba Timur pada tahun 2004 tercatat sebanyak 4.227 orang dan sedikit menurun pada tahun 2005 yakni sebanyak 3.529 orang, dan kembali mengalami kenaikan pada tahun 2006 sebesar  5.228 orang.
            Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
            Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi.

Busana pria
            Sebagaimana telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa ini cenderung lebih ditekankan pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian daripada hirarki status sosial. Namun masih ada perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya busana pria bangsawan biasanya terbuat dari kain-kain dan aksesoris yang lebih halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen serta tampak keseluruhannya sama. Menilik hal-hal tersebut maka pembahasan busana pria sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar, upacara, pesta-pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia tampil dalam keadaan terbaiknya. Busana pria Sumba terdiri atas bagianbagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam.
            Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau kadang-kadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.
            Ragam-ragam hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam, ular, naga, buaya, kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai dengan corak-corak yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda) yakni naga, bendera tiga warna, mahkota dan singa. Kesemuanya memiliki arti serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam pikiran serta kepercayaan mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga mencerminkan nilai estetis dan status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu hinggi raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu.
            Selanjutnya busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada sebelah kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar dan mutisalak. Secara tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki, namun dewasa ini perlengkapan tersebut semakin banyak digunakan khususnya didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan, muti salak menyatakan kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini merupakan simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang.
Busana Adat Wanita
            Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung.
            Di kepala terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada dahi disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjurai ke bagian dada.
Bersambung.......